Fenomena Sidang Senat di Wisuda SMA/SMK: Pelanggaran Etika Akademik atau Tradisi yang Kebablasan? (Opini)
Fenomena Sidang Senat di Wisuda SMA/SMK: Pelanggaran Etika Akademik atau Tradisi yang Kebablasan? (Opini)
Sebuah Karya OpiniMendengar kata wisuda, mungkin sebagian dari kita membayangkan sebuah momen haru yang menjadi puncak dari perjuangan panjang dari seseorang yang menempuh pendidikan tinggi demi memperoleh gelar akademik yang diidam-idamkan. Ya, mungkin itu yang akan terbesit di benak anak-anak yang lulus SMA/SMK sebelum era pandemi Covid-19. Tapi berbeda dengan era setelah pandemi Covid-19 mereda, kata-kata wisuda tak lagi terdengar sakral karena bahkan anak-anak TK pun sudah di wisuda.
Haha ...
Bagi Saya yang menempuh hampir 4,5 tahun pendidikan tinggi dengan segala macam suka dukanya, momen wisuda adalah momen paling mengharukan dalam hidup saya, walaupun jika ditanya lebih seru mana antara wisuda perguruan tinggi dengan perpisahan SMA saya, tentu akan saya jawab perpisahan SMA. Kenapa? Ya karena sesimpel memang lebih seru. Saat perpisahan sekolah digelar, OSIS telah mempersiapkan smeuanya, mulai dari acara khusus untuk kelas 12 hingga mengundang band ternama ibu kota, dan jujur itu adalah perpisahan paling seru yang pernah saya alami. Jika dibandingkan dengan wisuda universitas yang hanya duduk berjam-jam demi untuk dipanggil ke depan dan bersalaman dengan Pak Dekan, tentu lebih seru perpisahan SMA. Tapi jujur saja wisuda sarjana jauh lebih mengharukan dari semua momen kelulusan yang pernah saya alami.
Pada momen wisuda itu, terbayang bagaimana saya bersusah payah mencari informasi terkait Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK) seagai syarat mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Bahkan saya sendiri tidak percaya jika saya bisa berada pada momen tersebut jika membayangkan saya yang dulu hanya berlatih ujian masuk kampus lewat internet dan media sosial, tidak seperti teman-teman saya yang mengikuti les ditempat-tempat bagus karena keterbatassan ekonomi keluarga saya.
Terbayang juga di benak saya wajah lega dari ibu bapak saya ketika mengetahui bahwa saya berkuliah dengan beasiswa dari pemerintah karena saya tahu bagaimanapun juga itu telah sedikit meringankan beban di pundak mereka. Terbayang juga perjalanan selama 4 tahun perkuliahan yang dibumbui dengan drama organisasi, kepanitiaan, hingga drama cinta layaknya FTV dan sinetron yang sering saya tonton dahulu. Semua perasaan tersebut tercurah pada momen itu.
Tapi beberapa hari yang lalu ketika saya membuka sosial media dan menonton video, tiba-tiba terdengar suara : "Sidang Senat Terbuka SMK .... "
Jujur dalam hati saya tertawa terbahak-bahak sekaligus merasa miris sekali, betapa semua perjuangan yang telah saya lalui untuk sampai pada momen sidang senat seolah-olah hanya menjadi mainan bagi segelintir orang. Lebih jauh lagi saya melihat semua guru dalam video tersebut mengenakan baju kehormatan dan kalung kehormatan yang hanya bisa dipakai oleh seorang profesor. Ingin sekali saya bertanya kepada orang-orang yang mengenakan kalung kehormatan guru besar tersebut, sudah berapa banyak jurnal bapak dan ibu yang tembus Scopus? Apa penelitian yang bapak dan ibu ambil tahun ini? Ah tapi rasanya percuma ..
Disamping fenomena tersebut, saya juga melihat para siswa yang menangis lebih keras dibanding teman-teman saya yang wisuda kala itu. Bahkan saya bertanya pada diri saya sendiri, mengapa mereka yang ada di dalam video tersebut menangis? Kenapa? Apa yang sudah mereka lalui? Bukankah sistem pendidikan sekarang tidak memperbolehkan siswanya tinggal kelas atau tidak lulus? Lantas apa yang mereka tangisi?
Ah sudahlah, mari kita bahas kenapa Wisuda adalah sesuatu yang sakral
Menelusuri Akar Wisuda Perguruan Tinggi: Simbol, Tradisi, dan Kehormatan Akademik
Wisuda perguruan tinggi adalah sebuah tradisi akademik yang memiliki akar sejarah panjang dan makna mendalam. Bukan sekadar seremoni seremonial biasa, wisuda adalah simbol keberhasilan dan pencapaian akademik yang dirayakan secara resmi. Tradisi ini berawal dari zaman universitas-universitas pertama di Eropa, terutama di Inggris dan Italia pada abad pertengahan. Dalam upacara wisuda, berbagai atribut digunakan, mulai dari toga, kalung gordon, hingga kerah samir. Masing-masing atribut memiliki makna simbolis dan sejarah yang kaya.
Sejarah Singkat Tradisi Wisuda
Tradisi wisuda perguruan tinggi bermula dari abad ke-12 di Universitas Bologna, Italia, yang dianggap sebagai universitas tertua di dunia. Pada masa itu, upacara kelulusan adalah momen di mana mahasiswa diakui secara resmi sebagai sarjana atau magister, lengkap dengan pidato akademik dan pemberian gelar. Model serupa kemudian diadopsi oleh Universitas Oxford dan Cambridge di Inggris, yang memperkenalkan penggunaan jubah akademik sebagai bagian dari tradisi akademik.
Upacara ini bukan hanya sekadar seremoni, tetapi juga sebuah pengakuan resmi atas pencapaian intelektual dan hak untuk menjadi bagian dari komunitas akademik yang lebih besar. Maka dari itu, setiap atribut dalam prosesi wisuda memiliki makna yang sangat penting.
________________________________________Makna Simbolik Atribut Wisuda
-
Toga Wisuda: Simbol Kehormatan dan Tradisi Akademik
- Toga adalah pakaian tradisional yang dikenakan oleh lulusan sebagai simbol keterikatan mereka dengan tradisi akademik yang panjang.
- Toga pertama kali digunakan di universitas-universitas Eropa pada abad pertengahan, terutama di Inggris dan Italia.
- Warna dan desain toga biasanya bervariasi berdasarkan tingkat pendidikan (sarjana, magister, doktor) atau bidang keilmuan tertentu. Kalung Gordon: Lambang Kewibawaan Akademik
- Kalung gordon (medallion) adalah rantai besar dengan lencana atau medali yang menggantung di tengahnya.
- Biasanya dikenakan oleh rektor, wakil rektor, atau pejabat akademik tinggi lainnya yang memimpin prosesi wisuda.
- Kalung gordon melambangkan otoritas dan tanggung jawab untuk mengesahkan kelulusan para wisudawan.
- Desain kalung ini sering kali memiliki lambang universitas atau simbol-simbol akademik yang memiliki makna filosofis. Kerah Samir: Identitas Anggota Senat Akademik
- Kerah samir adalah kain lebar yang dikenakan di bahu, biasanya oleh anggota senat akademik atau pejabat tinggi universitas.
- Kerah ini melambangkan kehormatan akademik dan peran mereka sebagai pengambil keputusan dalam lembaga pendidikan.
- Desain dan warna kerah samir dapat berbeda antara satu universitas dengan universitas lainnya, sering kali mencerminkan sejarah dan tradisi institusi tersebut. ________________________________________
Mengapa Atribut Wisuda Begitu Penting?
Setiap elemen dalam prosesi wisuda perguruan tinggi dirancang untuk mencerminkan rasa hormat terhadap ilmu pengetahuan dan tradisi akademik. Upacara ini bukan hanya perayaan kelulusan, tetapi juga momen pengakuan resmi dari institusi pendidikan kepada para lulusan atas usaha dan pencapaian mereka.
Atribut seperti kalung gordon dan kerah samir bukanlah sekadar aksesoris, tetapi lambang dari otoritas akademik yang hanya boleh dikenakan oleh mereka yang memiliki hak dan tanggung jawab untuk itu. Inilah yang membedakan wisuda perguruan tinggi sebagai sebuah tradisi sakral dan bermakna, bukan hanya sekadar seremoni.
Fenomena Wisuda SMA/SMK yang Meniru Perguruan Tinggi: Sebuah Pemborosan atau Penghormatan?
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena wisuda di tingkat SMA/SMK yang meniru prosesi perguruan tinggi semakin marak. Apa yang dahulu hanya berupa acara perpisahan sederhana bagi siswa kelas akhir, kini berubah menjadi sebuah seremoni megah yang penuh dengan simbol-simbol akademik, lengkap dengan jubah toga, kalung gordon, dan prosesi layaknya sidang senat perguruan tinggi. Namun, apakah fenomena ini merupakan sebuah bentuk penghormatan terhadap pendidikan atau justru sebuah pemborosan yang menyalahi makna sebenarnya dari wisuda?
Apa yang Salah dari Fenomena Ini?
1. Kekeliruan Makna Atribut AkademikAtribut akademik seperti jubah toga, kalung gordon, dan kerah samir memiliki makna filosofis yang dalam. Di perguruan tinggi, atribut ini diberikan sebagai simbol kehormatan akademik yang dicapai melalui penelitian, pengajaran, dan pengabdian. Menggunakan atribut ini di SMA/SMK tanpa pemahaman makna sebenarnya adalah bentuk distorsi tradisi akademik.
2. Distorsi Nilai AkademikPenggunaan istilah seperti "senat akademik," "rektor," dan "guru besar" di lingkungan sekolah menengah menciptakan ilusi akademik tanpa dasar. Hal ini dapat membuat siswa dan orang tua salah memahami nilai sebenarnya dari gelar akademik dan otoritas ilmiah.
3. Pemborosan Anggaran PendidikanWisuda SMA/SMK yang megah sering kali membutuhkan biaya besar, baik untuk penyewaan gedung, dekorasi, pembuatan jubah toga, hingga biaya sewa atribut akademik. Ironisnya, biaya tersebut dibebankan kepada orang tua siswa, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk keperluan pendidikan yang lebih bermanfaat.
Apakah Fenomena Ini Salah?
Secara prinsip, tidak ada yang salah dengan merayakan kelulusan siswa SMA/SMK. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika simbol-simbol akademik perguruan tinggi digunakan tanpa pemahaman makna sebenarnya. Hal ini tidak hanya merendahkan nilai simbol akademik, tetapi juga menciptakan kesan bahwa pendidikan adalah tentang seremoni, bukan tentang pencapaian intelektual.
Kesimpulan: Pendidikan Adalah Esensi, Bukan Seremoni
Fenomena wisuda SMA/SMK yang meniru perguruan tinggi adalah cerminan dari pemahaman yang salah tentang makna pendidikan. Pendidikan adalah tentang pengetahuan, keterampilan, dan karakter, bukan tentang jubah toga atau kalung gordon. Merayakan kelulusan adalah hal yang baik, tetapi harus dilakukan dengan cara yang sesuai dan bermakna.
Comments
Post a Comment